Senin, 28 November 2011

Warung Kopi dan Gender


Minum kopi merupakan suatu hal yang sudah menjadi tradisi di Indonesia, terutama di Jawa. Tradisi minum kopi ini dimulai ketika bangsa Indonesia, khususnya Jawa, mulai memiliki tanaman kopi melalui “cultuur stelsel” atau “tanam paksa” oleh Belanda. Pemerintah Belanda pada awalnya menanam kopi di daerah sekitar Batavia (Jakarta), Sukabumi, Bogor, dan akhirnya menyebar ke berbagai daerah seperti Jawa timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Namun setelah perang kemerdekaan, perkebunan-perkebunan kopi tersebut jatuh ke tangan pemerintah Indonesia. Sejak itulah kemudian tradisi minum kopi muncul di Indonesia, dimana hal ini juga tidak terlepas dari adanya peniruan (modeling) kebiasaan minum kopi dari penjajah Belanda.

Sekarang warung kopi banyak bermunculan di Jawa. Mulai dari konsep warung kopi tradisional (warung sederhana yang hanya menjual minuman kopi dan dilengkapi dengan jajanan ringan) sampai konsep warung kopi modern atau sering disebut dengan “Kafe”, yang tidak hanya menjual aneka macam racikan minuman kopi, tetapi juga beberapa jenis minuman dan makanan. Orang-orang pun kemudian mempunyai kebiasaan baru, yaitu “nongkrong” di warung kopi. “Nongkrong” di warung kopi sudah membudaya bagi masyarakat Indonesia. Mereka dapat menghabiskan waktu cukup lama di warung kopi, meskipun tidak jarang ketika berada di warung kopi mereka hanya memesan secangkir/ segelas kopi. Warung kopi sudah menjadi semacam “tempat tinggal kedua” dan tempat bereksistensi bagi masyarakat Indonesia, terutama kaum laki-laki, karena mayoritas dari pengunjung warug kopi adalah laki-laki.

Terdapat suatu stigma bahwa warung kopi adalah tempat nongkrong bagi kaum laki-laki. Warung kopi dijadikan tempat untuk melepas penat, ngobrol, tempat berdiskusi, bahkan dijadikan tempat untuk mengadakan kontrak bisnis bagi kaum laki-laki. Warung kopi kemudian menjadi identik dengan laki-laki, sehingga tidak jarang akan memunculkan suatu kejanggalan ketika melihat kaum perempuan “nongkrong” di warung kopi. Terkadang keberadaan perempuan dalam warung kopi hanyalah sebagai penjual atau pelayan di warung kopi. Hal ini menimbulkan suatu peran sosial baru bagi kaum laki-laki dan kaum perempuan, yaitu laki-laki berperan sebagai “penikmat” warung kopi sedangkan perempuan di warung kopi memiliki peran sebagai penjual atau pelayan. Namun keberadaan perempuan dalam warung kopi semakin terpinggirkan, karena sekarang tidak jarang kita jumpai bahwa penjual di warung kopi pun adalah laki-laki.

Hal tersebut di atas kemudian memunculkan pertanyaan, apa hubungan antara warung kopi dan kesetaraan gender? Dan faktor apa saja yang berpengaruh di dalamnya?

A.  Hubungan Warung Kopi dan Gender
Warung kopi merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk dikaji karena telah menjadi tradisi di masyarakat Jawa. Warung kopi sudah hampir  menjadi tempat tinggal kedua dan tempat bereksistensi untuk mereka. Mereka melepas penat, lelah, ngobrol, berdiskusi, memperbincankan urusan bisnis di warung kopi. Kemudian muncul stigma bahwa warung kopi adalah tempat buat laki-laki, dan keberadaan perempuan di warung kopi hanya sebagai penjual atau pelayan di warung kopi. Perempuan dipandang aneh ketika datang ke warung kopi. Hal ini didukung dengan mayoritas pengunjung warung kopi adalah laki-laki dan bukan perempuan. Melalui hal ini dapat dilihat bahwa terdapat peran gender dalam warung kopi, dimana laki-laki dalam warung kopi berperan sebagai pembeli atau penikmat/ konsumen warung kopi, sementara perempuan hanyalah penjual atau pelayan warung kopi. Lalu apakah hubungan antara warung kopi dan kesetaraan gender itu sendiri?
Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Sehingga berdasarkan pengertian ini dapat disimpulkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan yang sama dalam melakukan kegiatan kemasyarakatan sesuai dengan peran gendernya. Namun dalam kasus warung kopi, ada baiknya jika peninjauan mengenai kesetaraan gender perlu mempertimbangkan jenis warung kopi.
1.    Warung kopi tradisional
     Warung kopi tradisional masih lekat dengan identifikasi laki-laki. Hal ini dirasa belum dapat dikatakan mencerminkan adanya suatu kesetaraan gender, karena baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk menikmati fasilitas di warung kopi. Keduanya sama-sama mempunyai hak  untuk menggunakan akses warung kopi, dalam artian keduanya mempunyai hak untuk dapat menjadi penjual maupun pembeli di warung kopi tanpa harus mengkotak-kotakkan peran mereka di warung kopi.
     Peran yang terbentuk di warung kopi masih cenderung berdasarkan atas sentimen terhadap jenis kelamin tertentu. Peran gender tersebut sebagai akibat adanya konstruksi nilai sosial dari masyarakat. Senada dengan pernyataan dari teori feminis post-struktural dan sosial konstruktivis. Menurut toeri ini gender dikonstruksi secara sosial, artinya, dalam pembentukan konsep tentang feminitas dan maskulinitas selalu disertai oleh pemahaman mengenai struktur dan nilai sosial (Connel, 2003; Nealon and Giroux, 2003). Identifikasi dan pembagian peran gender dalam warung kopi terbentuk oleh adanya suatu konstruksi nilai sosial dari masyarakat, dimana dapat diketahui bahwa nilai yang berkembang di Jawa menyatakan bahwa perempuan mempunyai kekuasaan dan kedudukan di bawah laki-laki. Seorang perempuan mempunyai tugas untuk melayani laki-laki (suami). Nilai ini telah melekat dalam alam bawah sadar dan terbentuk secara kolektif dalam masyarakat Jawa. Kroska (2007) mengungkapkan bahwa ideologi gender telah terbentuk secara kolektif berdasarkan nilai sosial yang juga pada saat bersamaan melegitimasi adanya ketimpangan gender. Lebih lanjut, Kroska menambahkan bahwa ideologi gender adalah konstruksi maskulinitas dan femininitas yang berbeda di masyarakat. Perbedaan tersebut berkenaan dengan fungsi atau peran sosial laki-laki dan perempuan, status serta dominasi laki-laki di dalam masyarakat.
     Selain itu, perempuan dalam masyarakat Jawa mempunyai warisan dari jaman feodalisme yang juga menyatakan bahwa perempuan yang baik adalah perempuan yang berada di rumah dan tidak berada di jalanan. Hal ini juga yang kemudian mengkonstruk masyarakat Jawa dengan nilai bahwa perempuan tidak pantas “nongkrong” di warung kopi. Hal ini sebenarnya dapat dimasukkan dalam bentuk ketidaksetaraan gender akibat subordinasi (adanya anggapan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya) dimana perempuan berperan sebagai penjual atau pelayan di warung kopi, dan stereotype yang menganggap bahwa perempuan tidak pantas “nongkrong” di warung kopi.

2.    Warung kopi modern
Warung kopi dengan konsep modern, biasanya berupa kafe, dianggap lebih nyaman dan lebih bebas daripada warung kopi. Maksud bebas adalah baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk menikmati akses warung kopi, baik sebagai penjual maupun pembeli. Hal ini dikarenakan tempat warung kopi yang memang didesain untuk semua kalangan (tidak memandang jenis kelamin dan usia). Warung kopi modern berusaha untuk menunjukkan suasana yang mencerminkan kesetaraan gender. Warung kopi modern menyediakan aneka racikan kopi yang dapat dinikmati semua kalangan, selain itu juga jenis minuman lain (selain kopi) dan makanan.
Pengunjung warung kopi modern pun masih dapat dikatakan diisi oleh mayoritas laki-laki, namun selisih dengan pengunjung perempuan yang datang tidak menunjukkan identifikasi terhadap jenis kelamin tertentu. Warung kopi modern lebih banyak terdapat di kota besar/ daerah maju, sehingga dimungkinkan pengunjung yang datang memiliki pandangan yang berbeda terhadap keberadaan perempuan di warung kopi. Mereka sudah cenderung permisif terhadap gender itu sendiri. Sehingga dalam warung kopi modern tidak muncul suatu pembedaan peran antara laki-laki dan perempuan di warung kopi.

B.  Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesetaraan Gender
1.    Nilai yang berkembang dalam masyarakat
          Perbedaan sikap mengenai gender dan warung kopi tersebut, yaitu antara di warung kopi tradisional maupun warung kopi modern, tidak terlepas dari nilai yang berkembang dalam masyrakat tersebut. Seperti yang telah diketahui bahwa warung kopi tradisional dikonsep secara sederhana, biasanya terdapat di daerah pinggiran, desa, atau daerah perumahan biasa, dimana masyarakatnya sebagian besar masih menjunjung tinggi nilai-nilai masyarakat Jawa. Mereka menganggap bahwa seorang perempuan mulia adalah yang bertugas melayani suami dan berada di rumah (tidak keluyuran di jalanan). Sehingga kemudian memunculkan suatu identifikasi warung kopi dengan laki-laki, yang kemudian juga menimbulkan pembedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan di warung kopi.
          Sementara dalam warung kopi modern yang memang biasanya terletak di daerah kota besar, dimana masyarakatnya sudah cenderung permisif terhadap gender, maka warung kopi modern menganggap peran gender antara laki-laki dan perempuan dalam warung kopi adalah seimbang. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan untuk menikmati akses warung kopi.

2.    Personal (kepribadian, persepsi, dan nilai yang dianut)
Setiap individu memiliki persepsi yang berbeda-beda, bisa jadi sesuatu yang dipersepsikan buruk oleh individu yang satu, dipersepsikan baik oleh individu yang lain. Persepsi ini terbentuk dipengaruhi oleh kepribadian dan nilai yang dianut individu yang bersangkutan. Setiap otang mempunyai pandangan yang berbeda mengenai peran gender dalam warung kopi. Ada yang berpendapat bahwa memang perempuan kurang pantas berada di warung kopi, dan peran perempuan di warung kopi hanya sebagai penjual atau pelayan. Namun ada juga yang berpendapat, bahwa baik perempuan maupun laki-laki memiliki peran gender yang sama.

3.    Lingkungan
Lingkungan tempat tinggal seseorang berpengaruh terhadap perilaku dan pandangan seseorang terhadap sesuatu. Seseorang yang tinggal di daerah dimana masih menjunjung tinggi nilai-nilai masyarakat Jawa, akan setuju bahwa perempuan tempatnya bukanlah di warung kopi. Terdapat identifikasi warung kopi dengan laki-laki. Peran yang dimiliki perempuan di warung kopi adalah sebagai penjual atau pelayan.

4.    Stereotipe
Stereotipe dari masyarakat akan sedikit banyak berpengaruh terhadap pandangan seseorang dalam melihat peran gender antara laki-laki dan perempuan di warung kopi.

Kesetaraan gender, jika dilihat berdasarkan teori psikologi Kurt Lewin, terjadi bukan hanya dikarenakan faktor individu yang bersangkutan tetapi juga ada interaksi dengan lingkungan dimana individu tersebut tinggal. Kesetaraan gender dalam warung kopi memperhatikan faktor dari individu yang bersangkutan, bagaimana pandangan dia tentang peran gender dalam warung kopi, kepribadian dia, serta lingkungan tempat dia tinggal berkenaan dengan sistem nilai sosial apa yang dianut dalam masayarakat dimana dia tinggal. Individu tersebut menggabungkan kedua faktor tersebut, sehingga bisa saja peran gender yang terbentuk di warung kopi tradisional bukan merupakan bentuk ketidaksetaraan gender, karena dia merasa tidak dirugikan dengan peran gender yang muncul tersebut. Selain itu, peran tersebut sesuai dengan nilai yang berkembang dalam masyarakat dimana dia tinggal. Peran gender yang dia peroleh merupakan interaksi antara dirinya dengan lingkungannya. Dia menggabungkan keduanya untuk dijadikan sebuah peran sosial. Peran tersebut tidak hanya berasal dari konstruksi sosial budaya di masyarakat saja, namun ada penyesuaian antara dirinya dengan lingkungan.
     Jika dilihat dari teori Belajar Sosial Albert Bandura, kesetaraan gender terjadi sebagai akibat adanya modeling terhadap sosok yang dikagumi. Dalam kasus warung kopi seseorang menciptakan peran yang dia punya berdasarkan peniruan sosok yang mereka kagumi. Misalkan saja sosok yang dia kagumi menganggap bahwa tidak ada masalah dengan pembagian peran gender dalam warung kopi tradisional, maka dia juga akan berperilaku seperti halnya sosok yang diidolakan.

C.  Kesimpulan
     Kesetaraan gender merupakan sesuatu yang kondisional, dalam artian tergantung pada situasi dan kondisi serta dari sudut pandang mana kita melihatnya. Sesuai dengan sifat gender yang dapat berubah, dapat dipertukarkan, tergantung waktu, budaya setempat, dan bukan merupakan kodrat Tuhan, melainkan buatan manusia, maka kesetaraan gender pun menjadi bias. Kesetaraan gender bergantung kepada sistem sosial budaya apa yang dianut oleh masyarakat dimana individu tinggal. Tentu saja hal ini juga harus melibatkan interaksi antara pribadi individu yang bersangkutan. Suatu kesetaraan gender terwujud bukan hanya ketika tercapai kesamaan kondisi antara laki-laki dan perempuan untuk menjalankan peran dalam kehidupan bermasyarakatnya, tetapi akan terwujud ketika ada suatu keadilan. Artinya adanya suatu penyesuaian antara faktor pribadi individu dengan nilai mayarakat.
     Baik warung kopi modern maupun warung kopi tradisional, sama-sama mempunyai kemungkinan untuk menunjukkan suatu kesetaraan gender. Setiap orang mempunyai hak untuk datang maupun tidak ke warung kopi. Identifikasi warung kopi dengan laki-laki tercipta sebagai akibat stereotipe dan konstruksi sosial, namun hal ini tidak melanggar sistem hukum yang ada. Sistem hukum dapat dijadikan sebagai suatu aturan baku untuk menentukan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan, mengingat nilai yang berkembang di masyarakat terkadang mempunyai sifat yang rentan/ bias seperti halnya dalam kesetaraan gender di warung kopi. Sistem hukum ini kemudian juga dapat dijadikan sebagai salah satu pedoman untuk menanggulangi diskriminasi akibat dari adanya ketidaksetaraan gender. (ditulis sebagai tugas psikologi gender)



DAFTAR PUSTAKA
Ananta Toer, Pramoedya. 2003. Panggil Aku Kartini Saja. Jakarta: Lentera Dipantara
Friedman, Howard S., & Miriam W. Schustack. 2008. Kepribadian: Teori Klasik dan Riset Modern Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta: Erlangga
Wirawan, Sarlito. 2008. Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Indriatmoko, Yayan. 2007. Cerita dari Desa ke Desa. Dari Desa ke Desa: Dinamika Gender dan pengelolaan Kekayaan Alam. Halaman 2-8
Sari, Della N Kartika. ___. Perpektif Gender Anak Usia Dini Melalui Reproduksi Narasi Buku Cerita Anak Beraketip Gender. ISSN 1412-565X
Subono, Nur Iman. 2006. Ilmu Politik, Bias Gender, dan Penelitian Feminis. Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan Kesetaraan. No. 48,  55-65
Berontoseno. 2009. Sejarah Kopi Indonesia. [online]. (berontoseno.com, diakses tanggal 5 November 2011)

 

1 komentar:

Unknown mengatakan...

keren, terimakasih telah memberikan pencerahan pada penelitian saya :)