Minum
kopi merupakan suatu hal yang sudah menjadi tradisi di Indonesia, terutama di
Jawa. Tradisi minum kopi ini dimulai ketika bangsa Indonesia, khususnya Jawa,
mulai memiliki tanaman kopi melalui “cultuur
stelsel” atau “tanam paksa” oleh Belanda. Pemerintah
Belanda pada awalnya menanam kopi di daerah sekitar Batavia (Jakarta), Sukabumi, Bogor, dan
akhirnya menyebar ke berbagai daerah seperti Jawa timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Namun setelah perang kemerdekaan,
perkebunan-perkebunan kopi tersebut jatuh ke tangan pemerintah Indonesia. Sejak
itulah kemudian tradisi minum kopi muncul di Indonesia, dimana hal ini juga
tidak terlepas dari adanya peniruan (modeling)
kebiasaan minum kopi dari penjajah Belanda.
Sekarang
warung kopi banyak bermunculan di Jawa. Mulai dari konsep warung kopi
tradisional (warung sederhana yang hanya menjual minuman kopi dan dilengkapi
dengan jajanan ringan) sampai konsep warung kopi modern atau sering disebut
dengan “Kafe”, yang tidak hanya menjual aneka macam racikan minuman kopi,
tetapi juga beberapa jenis minuman dan makanan. Orang-orang pun kemudian
mempunyai kebiasaan baru, yaitu “nongkrong” di warung kopi. “Nongkrong” di
warung kopi sudah membudaya bagi masyarakat Indonesia. Mereka dapat menghabiskan
waktu cukup lama di warung kopi, meskipun tidak jarang ketika berada di warung
kopi mereka hanya memesan secangkir/ segelas kopi. Warung kopi sudah menjadi
semacam “tempat tinggal kedua” dan tempat bereksistensi bagi masyarakat Indonesia,
terutama kaum laki-laki, karena mayoritas dari pengunjung warug kopi adalah
laki-laki.
Terdapat
suatu stigma bahwa warung kopi adalah tempat nongkrong bagi kaum laki-laki.
Warung kopi dijadikan tempat untuk melepas penat, ngobrol, tempat berdiskusi,
bahkan dijadikan tempat untuk mengadakan kontrak bisnis bagi kaum laki-laki.
Warung kopi kemudian menjadi identik dengan laki-laki, sehingga tidak jarang
akan memunculkan suatu kejanggalan ketika melihat kaum perempuan “nongkrong” di
warung kopi. Terkadang keberadaan perempuan dalam warung kopi hanyalah sebagai
penjual atau pelayan di warung kopi. Hal ini menimbulkan suatu peran sosial
baru bagi kaum laki-laki dan kaum perempuan, yaitu laki-laki berperan sebagai
“penikmat” warung kopi sedangkan perempuan di warung kopi memiliki peran
sebagai penjual atau pelayan. Namun keberadaan perempuan dalam warung kopi
semakin terpinggirkan, karena sekarang tidak jarang kita jumpai bahwa penjual
di warung kopi pun adalah laki-laki.
Hal
tersebut di atas kemudian memunculkan pertanyaan, apa hubungan antara warung
kopi dan kesetaraan gender? Dan faktor apa saja yang berpengaruh di dalamnya?
A. Hubungan
Warung Kopi dan Gender
Warung kopi merupakan sebuah fenomena yang menarik
untuk dikaji karena telah menjadi tradisi di masyarakat Jawa. Warung kopi sudah
hampir menjadi tempat tinggal kedua dan
tempat bereksistensi untuk mereka. Mereka melepas penat, lelah, ngobrol,
berdiskusi, memperbincankan urusan bisnis di warung kopi. Kemudian muncul
stigma bahwa warung kopi adalah tempat buat laki-laki, dan keberadaan perempuan
di warung kopi hanya sebagai penjual atau pelayan di warung kopi. Perempuan
dipandang aneh ketika datang ke warung kopi. Hal ini didukung dengan
mayoritas pengunjung warung kopi adalah laki-laki dan bukan perempuan. Melalui
hal ini dapat dilihat bahwa terdapat peran gender dalam warung kopi, dimana laki-laki
dalam warung kopi berperan sebagai pembeli atau penikmat/ konsumen warung
kopi, sementara perempuan hanyalah penjual atau pelayan warung kopi. Lalu
apakah hubungan antara warung kopi dan kesetaraan gender itu sendiri?
Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan
perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar
mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi,
sosial budaya, pendidikan, pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas),
serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Sehingga berdasarkan pengertian ini dapat
disimpulkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan yang
sama dalam melakukan kegiatan kemasyarakatan sesuai dengan peran gendernya. Namun dalam kasus warung kopi, ada baiknya jika peninjauan mengenai kesetaraan
gender perlu mempertimbangkan jenis warung kopi.
1. Warung
kopi tradisional
Warung kopi
tradisional masih lekat dengan identifikasi laki-laki. Hal ini dirasa belum
dapat dikatakan mencerminkan adanya suatu kesetaraan gender, karena baik
laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk menikmati
fasilitas di warung kopi. Keduanya sama-sama mempunyai hak untuk menggunakan akses warung kopi, dalam
artian keduanya mempunyai hak untuk dapat menjadi penjual maupun pembeli di
warung kopi tanpa harus mengkotak-kotakkan peran mereka di warung kopi.
Peran yang
terbentuk di warung kopi masih cenderung berdasarkan atas sentimen terhadap
jenis kelamin tertentu. Peran gender tersebut sebagai akibat adanya konstruksi
nilai sosial dari masyarakat. Senada dengan pernyataan dari teori
feminis post-struktural dan sosial konstruktivis. Menurut toeri ini gender
dikonstruksi secara sosial, artinya, dalam pembentukan konsep tentang
feminitas dan maskulinitas selalu disertai oleh pemahaman mengenai struktur
dan nilai sosial (Connel, 2003; Nealon and Giroux, 2003). Identifikasi dan pembagian peran gender dalam warung
kopi terbentuk oleh adanya suatu konstruksi nilai sosial dari masyarakat,
dimana dapat diketahui bahwa nilai yang berkembang di Jawa menyatakan bahwa
perempuan mempunyai kekuasaan dan kedudukan di bawah laki-laki. Seorang
perempuan mempunyai tugas untuk melayani laki-laki (suami). Nilai ini telah
melekat dalam alam bawah sadar dan terbentuk secara kolektif dalam masyarakat
Jawa. Kroska
(2007) mengungkapkan bahwa ideologi gender telah terbentuk secara kolektif
berdasarkan nilai sosial yang juga pada saat bersamaan melegitimasi adanya
ketimpangan gender. Lebih lanjut,
Kroska menambahkan bahwa
ideologi gender adalah konstruksi maskulinitas dan femininitas yang berbeda di
masyarakat. Perbedaan tersebut berkenaan dengan fungsi atau peran sosial
laki-laki dan perempuan, status serta dominasi laki-laki di dalam masyarakat.
Selain itu,
perempuan dalam masyarakat Jawa mempunyai warisan dari jaman feodalisme yang
juga menyatakan bahwa perempuan yang baik adalah perempuan yang berada di rumah
dan tidak berada di jalanan. Hal ini juga yang kemudian mengkonstruk masyarakat
Jawa dengan nilai bahwa perempuan tidak pantas “nongkrong” di warung kopi. Hal
ini sebenarnya dapat dimasukkan dalam bentuk ketidaksetaraan gender akibat
subordinasi (adanya anggapan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih
utama dibanding jenis kelamin lainnya) dimana perempuan berperan sebagai penjual atau pelayan di warung kopi,
dan stereotype yang menganggap bahwa
perempuan tidak pantas “nongkrong” di warung kopi.
2. Warung
kopi modern
Warung
kopi dengan konsep modern, biasanya berupa kafe, dianggap lebih nyaman dan
lebih bebas daripada warung kopi. Maksud bebas adalah baik laki-laki maupun
perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk menikmati akses warung kopi,
baik sebagai penjual maupun pembeli. Hal ini dikarenakan tempat warung kopi
yang memang didesain untuk semua kalangan (tidak memandang jenis kelamin dan
usia). Warung kopi modern berusaha untuk menunjukkan suasana yang mencerminkan
kesetaraan gender. Warung kopi modern menyediakan aneka racikan kopi yang dapat
dinikmati semua kalangan, selain itu juga jenis minuman lain (selain kopi) dan
makanan.
Pengunjung
warung kopi modern pun masih dapat dikatakan diisi oleh mayoritas laki-laki,
namun selisih dengan pengunjung perempuan yang datang tidak menunjukkan
identifikasi terhadap jenis kelamin tertentu. Warung kopi modern lebih banyak
terdapat di kota besar/ daerah maju, sehingga dimungkinkan pengunjung yang
datang memiliki pandangan yang berbeda terhadap keberadaan perempuan di warung
kopi. Mereka sudah cenderung permisif terhadap gender itu sendiri. Sehingga
dalam warung kopi modern tidak muncul suatu pembedaan peran antara laki-laki
dan perempuan di warung kopi.
B. Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Kesetaraan Gender
1. Nilai
yang berkembang dalam masyarakat
Perbedaan sikap mengenai
gender dan warung kopi tersebut, yaitu antara di warung kopi tradisional maupun
warung kopi modern, tidak terlepas dari nilai yang berkembang dalam masyrakat
tersebut. Seperti yang telah diketahui bahwa warung kopi tradisional dikonsep
secara sederhana, biasanya terdapat di daerah pinggiran, desa, atau daerah
perumahan biasa, dimana masyarakatnya sebagian besar masih menjunjung tinggi
nilai-nilai masyarakat Jawa. Mereka menganggap bahwa seorang perempuan mulia
adalah yang bertugas melayani suami dan berada di rumah (tidak keluyuran di
jalanan). Sehingga kemudian memunculkan suatu identifikasi warung kopi dengan
laki-laki, yang kemudian juga menimbulkan pembedaan peran gender antara
laki-laki dan perempuan di warung kopi.
Sementara dalam warung
kopi modern yang memang biasanya terletak di daerah kota besar, dimana
masyarakatnya sudah cenderung permisif terhadap gender, maka warung kopi modern
menganggap peran gender antara laki-laki dan perempuan dalam warung kopi adalah
seimbang. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan untuk menikmati
akses warung kopi.
2. Personal
(kepribadian, persepsi, dan nilai yang dianut)
Setiap individu memiliki persepsi yang berbeda-beda, bisa jadi sesuatu
yang dipersepsikan buruk oleh individu yang satu, dipersepsikan baik oleh
individu yang lain. Persepsi ini terbentuk dipengaruhi oleh kepribadian dan
nilai yang dianut individu yang bersangkutan. Setiap otang mempunyai pandangan
yang berbeda mengenai peran gender dalam warung kopi. Ada yang berpendapat
bahwa memang perempuan kurang pantas berada di warung kopi, dan peran perempuan di
warung kopi hanya sebagai penjual atau pelayan. Namun ada juga yang berpendapat,
bahwa baik perempuan maupun laki-laki memiliki peran gender yang sama.
3. Lingkungan
Lingkungan tempat tinggal
seseorang berpengaruh terhadap perilaku dan pandangan seseorang terhadap
sesuatu. Seseorang yang tinggal di daerah dimana masih menjunjung tinggi nilai-nilai
masyarakat Jawa, akan setuju bahwa perempuan tempatnya bukanlah di warung kopi.
Terdapat identifikasi warung kopi dengan laki-laki. Peran yang dimiliki
perempuan di warung kopi adalah sebagai penjual atau pelayan.
4. Stereotipe
Stereotipe
dari masyarakat akan sedikit banyak berpengaruh terhadap pandangan seseorang
dalam melihat peran gender antara laki-laki dan perempuan di warung kopi.
Kesetaraan
gender, jika dilihat berdasarkan teori psikologi Kurt Lewin, terjadi bukan hanya
dikarenakan faktor individu yang bersangkutan tetapi juga ada interaksi dengan
lingkungan dimana individu tersebut tinggal. Kesetaraan gender dalam warung
kopi memperhatikan faktor dari individu yang bersangkutan, bagaimana pandangan
dia tentang peran gender dalam warung kopi, kepribadian dia, serta lingkungan
tempat dia tinggal berkenaan dengan sistem nilai sosial apa yang dianut dalam masayarakat
dimana dia tinggal. Individu tersebut menggabungkan kedua faktor tersebut,
sehingga bisa saja peran gender yang terbentuk di warung kopi
tradisional bukan merupakan bentuk ketidaksetaraan gender, karena dia merasa
tidak dirugikan dengan peran gender yang muncul tersebut. Selain itu, peran tersebut
sesuai dengan nilai yang berkembang dalam masyarakat dimana dia tinggal. Peran
gender yang dia peroleh merupakan interaksi antara dirinya dengan
lingkungannya. Dia menggabungkan keduanya untuk dijadikan sebuah peran sosial.
Peran tersebut tidak hanya berasal dari konstruksi sosial budaya di masyarakat
saja, namun ada penyesuaian antara dirinya dengan lingkungan.
Jika
dilihat dari teori Belajar Sosial Albert Bandura, kesetaraan gender terjadi
sebagai akibat adanya modeling terhadap sosok yang dikagumi. Dalam kasus warung
kopi seseorang menciptakan peran yang dia punya berdasarkan peniruan sosok yang
mereka kagumi. Misalkan saja sosok yang dia kagumi menganggap bahwa tidak ada
masalah dengan pembagian peran gender dalam warung kopi tradisional, maka dia
juga akan berperilaku seperti halnya sosok yang diidolakan.
C. Kesimpulan
Kesetaraan
gender merupakan sesuatu yang kondisional, dalam artian tergantung pada situasi
dan kondisi serta dari sudut pandang mana kita melihatnya. Sesuai dengan sifat gender
yang dapat
berubah, dapat dipertukarkan, tergantung waktu, budaya setempat, dan bukan merupakan
kodrat Tuhan, melainkan buatan manusia, maka kesetaraan gender pun menjadi bias. Kesetaraan gender bergantung
kepada sistem sosial budaya apa yang dianut oleh masyarakat dimana individu
tinggal. Tentu saja hal ini juga harus melibatkan interaksi antara pribadi
individu yang bersangkutan. Suatu kesetaraan gender terwujud bukan hanya ketika
tercapai kesamaan kondisi antara laki-laki dan perempuan untuk menjalankan
peran dalam kehidupan bermasyarakatnya, tetapi akan terwujud ketika ada suatu
keadilan. Artinya adanya suatu penyesuaian antara faktor pribadi individu
dengan nilai mayarakat.
Baik warung
kopi modern maupun warung kopi tradisional, sama-sama mempunyai kemungkinan
untuk menunjukkan suatu kesetaraan gender. Setiap orang mempunyai hak untuk
datang maupun tidak ke warung kopi. Identifikasi warung kopi dengan laki-laki
tercipta sebagai akibat stereotipe dan konstruksi sosial, namun hal ini tidak
melanggar sistem hukum yang ada. Sistem hukum dapat dijadikan sebagai suatu
aturan baku untuk menentukan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan,
mengingat nilai yang berkembang di masyarakat terkadang mempunyai sifat yang
rentan/ bias seperti halnya dalam kesetaraan gender di warung kopi. Sistem
hukum ini kemudian juga dapat dijadikan sebagai salah satu pedoman untuk
menanggulangi diskriminasi akibat dari adanya ketidaksetaraan gender. (ditulis sebagai tugas psikologi gender)
DAFTAR PUSTAKA
Ananta Toer, Pramoedya. 2003. Panggil Aku Kartini Saja. Jakarta: Lentera Dipantara
Friedman, Howard S., & Miriam W. Schustack. 2008. Kepribadian: Teori Klasik dan Riset Modern Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta: Erlangga
Friedman, Howard S., & Miriam W. Schustack. 2008. Kepribadian: Teori Klasik dan Riset Modern Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta: Erlangga
Wirawan, Sarlito. 2008.
Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Indriatmoko, Yayan. 2007. Cerita dari Desa ke Desa. Dari Desa ke Desa:
Dinamika Gender dan pengelolaan Kekayaan Alam. Halaman 2-8
Sari, Della N Kartika. ___. Perpektif Gender Anak Usia Dini Melalui
Reproduksi Narasi Buku Cerita Anak Beraketip Gender. ISSN 1412-565X
Subono, Nur Iman. 2006. Ilmu Politik, Bias Gender, dan Penelitian
Feminis. Jurnal Perempuan untuk
Pencerahan dan Kesetaraan. No. 48, 55-65
Berontoseno. 2009. Sejarah Kopi Indonesia. [online]. (berontoseno.com, diakses tanggal 5
November 2011)