Senin, 28 November 2011

Warung Kopi dan Gender


Minum kopi merupakan suatu hal yang sudah menjadi tradisi di Indonesia, terutama di Jawa. Tradisi minum kopi ini dimulai ketika bangsa Indonesia, khususnya Jawa, mulai memiliki tanaman kopi melalui “cultuur stelsel” atau “tanam paksa” oleh Belanda. Pemerintah Belanda pada awalnya menanam kopi di daerah sekitar Batavia (Jakarta), Sukabumi, Bogor, dan akhirnya menyebar ke berbagai daerah seperti Jawa timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Namun setelah perang kemerdekaan, perkebunan-perkebunan kopi tersebut jatuh ke tangan pemerintah Indonesia. Sejak itulah kemudian tradisi minum kopi muncul di Indonesia, dimana hal ini juga tidak terlepas dari adanya peniruan (modeling) kebiasaan minum kopi dari penjajah Belanda.

Sekarang warung kopi banyak bermunculan di Jawa. Mulai dari konsep warung kopi tradisional (warung sederhana yang hanya menjual minuman kopi dan dilengkapi dengan jajanan ringan) sampai konsep warung kopi modern atau sering disebut dengan “Kafe”, yang tidak hanya menjual aneka macam racikan minuman kopi, tetapi juga beberapa jenis minuman dan makanan. Orang-orang pun kemudian mempunyai kebiasaan baru, yaitu “nongkrong” di warung kopi. “Nongkrong” di warung kopi sudah membudaya bagi masyarakat Indonesia. Mereka dapat menghabiskan waktu cukup lama di warung kopi, meskipun tidak jarang ketika berada di warung kopi mereka hanya memesan secangkir/ segelas kopi. Warung kopi sudah menjadi semacam “tempat tinggal kedua” dan tempat bereksistensi bagi masyarakat Indonesia, terutama kaum laki-laki, karena mayoritas dari pengunjung warug kopi adalah laki-laki.

Terdapat suatu stigma bahwa warung kopi adalah tempat nongkrong bagi kaum laki-laki. Warung kopi dijadikan tempat untuk melepas penat, ngobrol, tempat berdiskusi, bahkan dijadikan tempat untuk mengadakan kontrak bisnis bagi kaum laki-laki. Warung kopi kemudian menjadi identik dengan laki-laki, sehingga tidak jarang akan memunculkan suatu kejanggalan ketika melihat kaum perempuan “nongkrong” di warung kopi. Terkadang keberadaan perempuan dalam warung kopi hanyalah sebagai penjual atau pelayan di warung kopi. Hal ini menimbulkan suatu peran sosial baru bagi kaum laki-laki dan kaum perempuan, yaitu laki-laki berperan sebagai “penikmat” warung kopi sedangkan perempuan di warung kopi memiliki peran sebagai penjual atau pelayan. Namun keberadaan perempuan dalam warung kopi semakin terpinggirkan, karena sekarang tidak jarang kita jumpai bahwa penjual di warung kopi pun adalah laki-laki.

Hal tersebut di atas kemudian memunculkan pertanyaan, apa hubungan antara warung kopi dan kesetaraan gender? Dan faktor apa saja yang berpengaruh di dalamnya?

A.  Hubungan Warung Kopi dan Gender
Warung kopi merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk dikaji karena telah menjadi tradisi di masyarakat Jawa. Warung kopi sudah hampir  menjadi tempat tinggal kedua dan tempat bereksistensi untuk mereka. Mereka melepas penat, lelah, ngobrol, berdiskusi, memperbincankan urusan bisnis di warung kopi. Kemudian muncul stigma bahwa warung kopi adalah tempat buat laki-laki, dan keberadaan perempuan di warung kopi hanya sebagai penjual atau pelayan di warung kopi. Perempuan dipandang aneh ketika datang ke warung kopi. Hal ini didukung dengan mayoritas pengunjung warung kopi adalah laki-laki dan bukan perempuan. Melalui hal ini dapat dilihat bahwa terdapat peran gender dalam warung kopi, dimana laki-laki dalam warung kopi berperan sebagai pembeli atau penikmat/ konsumen warung kopi, sementara perempuan hanyalah penjual atau pelayan warung kopi. Lalu apakah hubungan antara warung kopi dan kesetaraan gender itu sendiri?
Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Sehingga berdasarkan pengertian ini dapat disimpulkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan yang sama dalam melakukan kegiatan kemasyarakatan sesuai dengan peran gendernya. Namun dalam kasus warung kopi, ada baiknya jika peninjauan mengenai kesetaraan gender perlu mempertimbangkan jenis warung kopi.
1.    Warung kopi tradisional
     Warung kopi tradisional masih lekat dengan identifikasi laki-laki. Hal ini dirasa belum dapat dikatakan mencerminkan adanya suatu kesetaraan gender, karena baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk menikmati fasilitas di warung kopi. Keduanya sama-sama mempunyai hak  untuk menggunakan akses warung kopi, dalam artian keduanya mempunyai hak untuk dapat menjadi penjual maupun pembeli di warung kopi tanpa harus mengkotak-kotakkan peran mereka di warung kopi.
     Peran yang terbentuk di warung kopi masih cenderung berdasarkan atas sentimen terhadap jenis kelamin tertentu. Peran gender tersebut sebagai akibat adanya konstruksi nilai sosial dari masyarakat. Senada dengan pernyataan dari teori feminis post-struktural dan sosial konstruktivis. Menurut toeri ini gender dikonstruksi secara sosial, artinya, dalam pembentukan konsep tentang feminitas dan maskulinitas selalu disertai oleh pemahaman mengenai struktur dan nilai sosial (Connel, 2003; Nealon and Giroux, 2003). Identifikasi dan pembagian peran gender dalam warung kopi terbentuk oleh adanya suatu konstruksi nilai sosial dari masyarakat, dimana dapat diketahui bahwa nilai yang berkembang di Jawa menyatakan bahwa perempuan mempunyai kekuasaan dan kedudukan di bawah laki-laki. Seorang perempuan mempunyai tugas untuk melayani laki-laki (suami). Nilai ini telah melekat dalam alam bawah sadar dan terbentuk secara kolektif dalam masyarakat Jawa. Kroska (2007) mengungkapkan bahwa ideologi gender telah terbentuk secara kolektif berdasarkan nilai sosial yang juga pada saat bersamaan melegitimasi adanya ketimpangan gender. Lebih lanjut, Kroska menambahkan bahwa ideologi gender adalah konstruksi maskulinitas dan femininitas yang berbeda di masyarakat. Perbedaan tersebut berkenaan dengan fungsi atau peran sosial laki-laki dan perempuan, status serta dominasi laki-laki di dalam masyarakat.
     Selain itu, perempuan dalam masyarakat Jawa mempunyai warisan dari jaman feodalisme yang juga menyatakan bahwa perempuan yang baik adalah perempuan yang berada di rumah dan tidak berada di jalanan. Hal ini juga yang kemudian mengkonstruk masyarakat Jawa dengan nilai bahwa perempuan tidak pantas “nongkrong” di warung kopi. Hal ini sebenarnya dapat dimasukkan dalam bentuk ketidaksetaraan gender akibat subordinasi (adanya anggapan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya) dimana perempuan berperan sebagai penjual atau pelayan di warung kopi, dan stereotype yang menganggap bahwa perempuan tidak pantas “nongkrong” di warung kopi.

2.    Warung kopi modern
Warung kopi dengan konsep modern, biasanya berupa kafe, dianggap lebih nyaman dan lebih bebas daripada warung kopi. Maksud bebas adalah baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk menikmati akses warung kopi, baik sebagai penjual maupun pembeli. Hal ini dikarenakan tempat warung kopi yang memang didesain untuk semua kalangan (tidak memandang jenis kelamin dan usia). Warung kopi modern berusaha untuk menunjukkan suasana yang mencerminkan kesetaraan gender. Warung kopi modern menyediakan aneka racikan kopi yang dapat dinikmati semua kalangan, selain itu juga jenis minuman lain (selain kopi) dan makanan.
Pengunjung warung kopi modern pun masih dapat dikatakan diisi oleh mayoritas laki-laki, namun selisih dengan pengunjung perempuan yang datang tidak menunjukkan identifikasi terhadap jenis kelamin tertentu. Warung kopi modern lebih banyak terdapat di kota besar/ daerah maju, sehingga dimungkinkan pengunjung yang datang memiliki pandangan yang berbeda terhadap keberadaan perempuan di warung kopi. Mereka sudah cenderung permisif terhadap gender itu sendiri. Sehingga dalam warung kopi modern tidak muncul suatu pembedaan peran antara laki-laki dan perempuan di warung kopi.

B.  Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesetaraan Gender
1.    Nilai yang berkembang dalam masyarakat
          Perbedaan sikap mengenai gender dan warung kopi tersebut, yaitu antara di warung kopi tradisional maupun warung kopi modern, tidak terlepas dari nilai yang berkembang dalam masyrakat tersebut. Seperti yang telah diketahui bahwa warung kopi tradisional dikonsep secara sederhana, biasanya terdapat di daerah pinggiran, desa, atau daerah perumahan biasa, dimana masyarakatnya sebagian besar masih menjunjung tinggi nilai-nilai masyarakat Jawa. Mereka menganggap bahwa seorang perempuan mulia adalah yang bertugas melayani suami dan berada di rumah (tidak keluyuran di jalanan). Sehingga kemudian memunculkan suatu identifikasi warung kopi dengan laki-laki, yang kemudian juga menimbulkan pembedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan di warung kopi.
          Sementara dalam warung kopi modern yang memang biasanya terletak di daerah kota besar, dimana masyarakatnya sudah cenderung permisif terhadap gender, maka warung kopi modern menganggap peran gender antara laki-laki dan perempuan dalam warung kopi adalah seimbang. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan untuk menikmati akses warung kopi.

2.    Personal (kepribadian, persepsi, dan nilai yang dianut)
Setiap individu memiliki persepsi yang berbeda-beda, bisa jadi sesuatu yang dipersepsikan buruk oleh individu yang satu, dipersepsikan baik oleh individu yang lain. Persepsi ini terbentuk dipengaruhi oleh kepribadian dan nilai yang dianut individu yang bersangkutan. Setiap otang mempunyai pandangan yang berbeda mengenai peran gender dalam warung kopi. Ada yang berpendapat bahwa memang perempuan kurang pantas berada di warung kopi, dan peran perempuan di warung kopi hanya sebagai penjual atau pelayan. Namun ada juga yang berpendapat, bahwa baik perempuan maupun laki-laki memiliki peran gender yang sama.

3.    Lingkungan
Lingkungan tempat tinggal seseorang berpengaruh terhadap perilaku dan pandangan seseorang terhadap sesuatu. Seseorang yang tinggal di daerah dimana masih menjunjung tinggi nilai-nilai masyarakat Jawa, akan setuju bahwa perempuan tempatnya bukanlah di warung kopi. Terdapat identifikasi warung kopi dengan laki-laki. Peran yang dimiliki perempuan di warung kopi adalah sebagai penjual atau pelayan.

4.    Stereotipe
Stereotipe dari masyarakat akan sedikit banyak berpengaruh terhadap pandangan seseorang dalam melihat peran gender antara laki-laki dan perempuan di warung kopi.

Kesetaraan gender, jika dilihat berdasarkan teori psikologi Kurt Lewin, terjadi bukan hanya dikarenakan faktor individu yang bersangkutan tetapi juga ada interaksi dengan lingkungan dimana individu tersebut tinggal. Kesetaraan gender dalam warung kopi memperhatikan faktor dari individu yang bersangkutan, bagaimana pandangan dia tentang peran gender dalam warung kopi, kepribadian dia, serta lingkungan tempat dia tinggal berkenaan dengan sistem nilai sosial apa yang dianut dalam masayarakat dimana dia tinggal. Individu tersebut menggabungkan kedua faktor tersebut, sehingga bisa saja peran gender yang terbentuk di warung kopi tradisional bukan merupakan bentuk ketidaksetaraan gender, karena dia merasa tidak dirugikan dengan peran gender yang muncul tersebut. Selain itu, peran tersebut sesuai dengan nilai yang berkembang dalam masyarakat dimana dia tinggal. Peran gender yang dia peroleh merupakan interaksi antara dirinya dengan lingkungannya. Dia menggabungkan keduanya untuk dijadikan sebuah peran sosial. Peran tersebut tidak hanya berasal dari konstruksi sosial budaya di masyarakat saja, namun ada penyesuaian antara dirinya dengan lingkungan.
     Jika dilihat dari teori Belajar Sosial Albert Bandura, kesetaraan gender terjadi sebagai akibat adanya modeling terhadap sosok yang dikagumi. Dalam kasus warung kopi seseorang menciptakan peran yang dia punya berdasarkan peniruan sosok yang mereka kagumi. Misalkan saja sosok yang dia kagumi menganggap bahwa tidak ada masalah dengan pembagian peran gender dalam warung kopi tradisional, maka dia juga akan berperilaku seperti halnya sosok yang diidolakan.

C.  Kesimpulan
     Kesetaraan gender merupakan sesuatu yang kondisional, dalam artian tergantung pada situasi dan kondisi serta dari sudut pandang mana kita melihatnya. Sesuai dengan sifat gender yang dapat berubah, dapat dipertukarkan, tergantung waktu, budaya setempat, dan bukan merupakan kodrat Tuhan, melainkan buatan manusia, maka kesetaraan gender pun menjadi bias. Kesetaraan gender bergantung kepada sistem sosial budaya apa yang dianut oleh masyarakat dimana individu tinggal. Tentu saja hal ini juga harus melibatkan interaksi antara pribadi individu yang bersangkutan. Suatu kesetaraan gender terwujud bukan hanya ketika tercapai kesamaan kondisi antara laki-laki dan perempuan untuk menjalankan peran dalam kehidupan bermasyarakatnya, tetapi akan terwujud ketika ada suatu keadilan. Artinya adanya suatu penyesuaian antara faktor pribadi individu dengan nilai mayarakat.
     Baik warung kopi modern maupun warung kopi tradisional, sama-sama mempunyai kemungkinan untuk menunjukkan suatu kesetaraan gender. Setiap orang mempunyai hak untuk datang maupun tidak ke warung kopi. Identifikasi warung kopi dengan laki-laki tercipta sebagai akibat stereotipe dan konstruksi sosial, namun hal ini tidak melanggar sistem hukum yang ada. Sistem hukum dapat dijadikan sebagai suatu aturan baku untuk menentukan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan, mengingat nilai yang berkembang di masyarakat terkadang mempunyai sifat yang rentan/ bias seperti halnya dalam kesetaraan gender di warung kopi. Sistem hukum ini kemudian juga dapat dijadikan sebagai salah satu pedoman untuk menanggulangi diskriminasi akibat dari adanya ketidaksetaraan gender. (ditulis sebagai tugas psikologi gender)



DAFTAR PUSTAKA
Ananta Toer, Pramoedya. 2003. Panggil Aku Kartini Saja. Jakarta: Lentera Dipantara
Friedman, Howard S., & Miriam W. Schustack. 2008. Kepribadian: Teori Klasik dan Riset Modern Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta: Erlangga
Wirawan, Sarlito. 2008. Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Indriatmoko, Yayan. 2007. Cerita dari Desa ke Desa. Dari Desa ke Desa: Dinamika Gender dan pengelolaan Kekayaan Alam. Halaman 2-8
Sari, Della N Kartika. ___. Perpektif Gender Anak Usia Dini Melalui Reproduksi Narasi Buku Cerita Anak Beraketip Gender. ISSN 1412-565X
Subono, Nur Iman. 2006. Ilmu Politik, Bias Gender, dan Penelitian Feminis. Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan Kesetaraan. No. 48,  55-65
Berontoseno. 2009. Sejarah Kopi Indonesia. [online]. (berontoseno.com, diakses tanggal 5 November 2011)

 

Minggu, 27 November 2011

Pengaruh Urutan Kelahiran terhadap Pembentukan Perilaku Anak

Anak pertama haruslah lebih dewasa, bisa menjaga adik-adiknya, lebih mandiri, lebih sukses,dan lain-lain yang pada intinya harus lebih superior dari adik-adiknya. Sedangkan anak bungsu adalah si manja yang cukup berlindung di bawah ketiak orang tua dan yang harus dilindungi oleh kakaknya. Lain lagi cerita jika dia si anak tunggal. Anak tunggal adalah anak manja yang suka bikin onar, kurang bisa mengendalikan diri, dan selalu mementingkan dirinya sendiri. Mungkin pernyataan-pernyataan tersebut sudah tidak asing di telinga kita. Lalu apakah yang menjadi penyebab hal-hal tersebut? Apakah memang ada kaitannya antara urutan kelahiran seseorang dengan pembentukan perilakunya?

Urutan kelahiran memang hal yang cukup menarik perhatian para peneliti, khususnya peneliti saudara kandung. Dan sudah banyak sekali penelitian yang dilakukan untuk mengetahui sampai dimana pengaruh urutan kelahiran bagi pembentukan perilaku seseorang. Adapun beberapa peneliti yang melakukan penelitian terhadap urutan kelahiran adalah Alfred Adler, Sulloway, Francis Galton, Paulhus, Trapnel, dan Chen. Dimana hasil dari penelitian mereka kurang lebih menunjukkan hal yang sama.

Adler yakin akan pentingnya pengaruh urutan kelahiran dalam menentukan perilaku dan kepribadian seseorang. Misalnya saja pada anak pertama. Awalnya mereka adalah “anak emas“ dalam keluarga karena mereka adalah satu-satunya anak dalam keluarga tersebut. Anak pertama tidak perlu berbagi kasih sayang dan mutlak memiliki kasih sayang kedua orang tuanya sampai saudara kandung lainnya lahir (adik). Dan kemudian mereka pun harus belajar bahwa dalam kenyataannya mereka bukan lagi fokus utama keluarga karena orang tua membagi kasih sayang dan perhatiannya dengan saudara kandung yang lain. Perubahan yang tiba-tiba ini dapat mendorong munculnya sifat kemandirian pada anak pertama, dikarenakan anak pertama merasa harus berjuang untuk mendapatkan status dalam keluarga. Tidak jarang pula anak pertama pada akhirnya juga mengembangkan peran sebagai orang tua semu, yang bertugas untuk menjaga adiknya atau dengan kata lain membantu orang tua dalam mengasuh adiknya. Sementara itu menurut Adler, anak kedua lahir dalam situasi persaingan dan kompetisi. Hal ini selain memberi dampak positif berupa dorongan bagi anak kedua untuk mendapatkan pencapaian yang lebih besar, juga dapat menimbulkan rasa minder atau rusaknya kepercayaan diri akibat kegagalan yang berulang. Sedangkan anak terakhir biasanya lebih manja dari saudara kandung lainnya. Mereka akan selalu dianggap “bayi dalam keluarga”.

Lebih lanjut Adler membuat perumusan sebagai berikut: Pandangan Adler tentang Sifat-sifat Anak Akibat Urutan Kelahiran Anak sulung, sisi positif: Memerhatikan dan melindungi orang lain, pengorganisasi yang baik, namun sisi negatifnya adalah penuh kecemasan,perasaan berkuasa yang berlebihan, kebencian tidak sadar, memaksakan diri untuk diterima, harus selalu menjadi “benar”, sementara yang lain selalu” keliru, sangat kritis terhadap orang lain, tidak kooperatif. Anak kedua: sangat termotivasi, kooperatif, sangat kompetitif, bersaing secara moderat, mudah putus asa. Anak bungsu: memiliki ambisi yang realistik, gaya hidup manja, bergantung pada orang lain, ingin sempurna dalam segala sesuatu, memiliki ambisi yang tidak realistik. Anak tunggal: dewasa secara sosial, perasaan unggul yang berlebihan, perasaan koopertif yang rendah, pemahaman diri yang dilebih-lebihkan, gaya hidup manja. (Sumber: Theories of Personality, Jess Feist dan Gregory J. Feist)

Ide mengenai urutan kelahiran sebenarnya sebagian besar berasal dari karya Francis Galton. Penelitian tentang urutan kelahiran telah menghasilkan penelitian yang banyak, diantaranya adalah anak pertama memang lebih mungkin masuk perguruan tinggi dan mencapai kesuksesan karier sebagai ilmuwan (Simonton, 1994), namun adik-adiknya lebih mungkin menjadi kreatif, pemberontak, revolusioner, atau perintis.

Sulloway, berdasarkan tinjauan terhadap 6000 biografi orang-orang terkenal dalam sejarah Barat, menyimpulkan bahwa meskipun anak pertama menunjukkan pola pencapaian yang tinggi, tetapi mereka cenderung kurang mendukung pandangan revolusioner dibanding anak yang lahir belakangan. Sulloway berfokus pada dinamika keluarga untuk menjelaskan pengaruh urutan kelahiran dalam kecenderungan anak dalam menyatakan ketidaksetujuannya dan dalam hal penerimaan ide-ide radikal. Anak pertama memiliki kecenderungan mengadopsi strategi pertahanan hidup atau adaptasi yang berbeda dari saudara kandungnya yang lain.

Urutan kelahiran memiliki asosiasi dengan variasi-variasi dalam hubungan saudara kandung. Anak pertama cenderung diharapkan untuk senantiasa bisa mengendalikan diri serta memiliki tanggung jawab yang lebih dibandingkan dengan saudara kandung yang lain. Sehingga dalam berinteraksi dengan saudara kandung yang lain, anak pertama akan memperlihatkan tanggung jawabnya dan mereka selalu berlatih untuk mengendalikan diri mereka. Bila terjadi suatu konflik, tidak jarang orang tua cenderung melindungi saudara yang lebih muda. Hal ini pulalah yang menyebabkan terbentuknya rasa kemandirian dalam diri anak pertama, tidak jarang pula pada akhirnya akan membentuk rasa iri dan permusuhan pada anak pertama. Anak pertama lebih dominan dalam keluarga, kompeten, dan berkuasa daripada saudara kandung yang lain. Sehingga mereka diharapkan dapat membantu dan menjaga saudaranya yang lebih muda.

Para peneliti memperlihatkan bahwa anak pertama atau saudara yang lebih tua mempunyai sifat yang lebih antagonistik dan lebih menyayangi saudaranya lebih dari sebaliknya. Sedangkan pada relasi saudara kandung yang berjenis kelamin sama, terdapat suatu agresi dan dominasi yang lebih besar daripada relasi saudara kandung berjenis kelamin berbeda.

Jika melihat perbedaan-perbedaan dalam dinamika keluarga yang berkaitan dengan urutan kelahiran, tidak aneh apabila anak yang lahir terlebih dahulu dan yang lahir belakangan memiliki karakteristik yang tidak sama. Anak yang lahir terlebih dahulu lebih berorientasi dewasa, sehingga mereka terlihat lebih dewasa daripada saudara kandungnya yang lain. Mereka juga mempunyai kecenderungan suka menolong, dapat menyesuaikan diri, cemas, dan dapat mengendalikan diri dibandingkan saudara kandungnya yang lain.

Orang tua memberi lebih banyak perhatian kepada anak-anak yang lahir duluan dan ini berkaitan dengan perilaku pengasuhan anak-anak yang lahir duluan (Stanhope & Corter, 1993). Orang tua mempunyai tuntutan dan standar yang tinggi terhadap anak pertama. Tuntutan ini mengakibatkan anak pertama sering kali memiliki karir akademik dan profesional yang memuaskan. Namun tidak jarang pula, hal ini pulalah yang menjadi sebab mengapa mereka memiliki rasa bersalah yang tinggi, cemas, sulit, mengatasi situasi yang tidak memyenangkan dan lebih sering harus masuk klinik dan bimbingan anak (Santrock, 1983)

Tidak demikian dengan anak tunggal. Dalam kasus anak tunggal, kita sering mendengar konsep bahwa anak tunggal adalah anak nakal yang manja. Dimana mereka mempunyai karakteristik seperti sangat tergantung kepada orang lain, kurang kendali diri dan cenderung egois atau mementingkan dirinya sendiri. Tetapi para peneliti memberi suatu potret yang lebih positif tentang anak tunggal. Mereka sering kali berorientasi prestasi dan memperlihatkan suatu kepribadian yang menyenangkan, khususnya dibandingkan dengan anak yang lahir belakangan dan anak-anak dari keluarga besar (Falbo & Polit, 1986; Falbo dan Poston, 1993; Thomas, Coffman, Kipp, 1993).

Sampai di sini mungkin kita telah mempunyai pandangan tentang pengaruh urutan kelahiran, dimana urutan kelahiran mungkin merupakan hal yang berpengaruh paling kuat dalam memprediksi perilaku seseorang. Namun peneliti mempunyai pandangan lain, seiring dengan meningkatnya jumlah keluarga, bahwa urutan kelahiran terlalu dilebih-lebihkan. Para pengkritik menyatakan bahwa bila semua faktor yang mempengaruhi perilaku diperhitungkan, urutan kelahiran itu sendiri memperlihatkan kemampuan yang terbatas untuk meramalkan perilaku.

Penelitian tentang urutan kelahiran biasanya juga tidak membedakan efek urutan biologis dari efek urutan pengasuhan. Misalnya saja, jika anak yang lahir pertama meninggal saat lahir, anak yang lahir kedualah yang menjadi anak paling tua (Friedman & Schustack, 2006). Perlu digarisbawahi bahwa relasi saudara kandung itu bervariasi, tidak hanya meliputi urutan kelahiran, tetapi jumlah saudara kandung, usia, jarak usia, dan jenis kelamin juga masuk dalam variasi relasi saudara kandung itu sendiri.

Selain itu, perlu juga dipertimbangkan peranan temperamen. Para peneliti telah menemukan bahwa ‘sifat-sifat temperamental’ saudara-saudara kandung (“mudah” dan “sulit”, misalnya), menentukan bagaimana saudara-saudara kandung dalam keluarga cocok satu sama lain. Perlakuan yang berbeda oleh orang tua kepada anak-anak, juga berpengaruh terhadap bagaimana saudara-saudara kandung itu cocok satu sama lain (Stocker & Dunn, 1991).

Faktor-faktor penting lain yang mempengaruhi perilaku anak adalah keturunan (heredity), model kompetensi atau inkompetensi yang orang tua sampaikan kepada anak-anak sehari-hari, model pengaruh teman sebaya, pengaruh sekolah, faktor sosial ekonomi, faktor sosial kesejahteraan, variasi kebudayaan, dan lain-lain (Santrock, 1983). Selain hal tersebut, motivasi dalam diri individu juga mempunyai peran penting dalam menentukan perilakunya. Namun tidak bisa kita pungkiri bahwa relasi dan interaksi saudara kandung adalah dimensi yang penting dalam suatu keluarga.

DAFTAR PUSTAKA
Feist, Jest & Gregory J. Feist. 2008. Theories of Personality Edisi Keenam. Yogyakarta: Pustaka   Belajar
Friedman, Howard S & Miriam W. Schustack. 2008. Kepribadian: Teori klasik dan Riset Modern Edisi  Ketiga. Jakarta: Erlangga
Santrock, John W. 2002. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga